oleh

Hak Anak Kelompok Minoritas Terpenuhi, Hal ini akan Dipastikan Kemen PPPA

Mataram, PublikasiNews.Com – Keadaan dan kondisi anak di Indonesia beragam, sehingga di antaranya membutuhkan perlindungan khusus. Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar menegaskan pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) akan memastikan dan menjamin setiap hak-hak anak dapat terpenuhi.

Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar ketika menyampaikan kata sambutannya saat diselenggarakannya kegiatan Fasilitasi Penguatan Pemangku Kepentingan dan Lembaga dalam Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Anak Kelompok Minoritas dan Terisolasi, kegiatan ini digelar bertempat di Astoria Hotel Mataram, NTB pada, Jum’at (06/9).dok-red

“Ada 79,6 juta anak di Indonesia dan tidak semua dari anak-anak tersebut hidup bersama orangtuanya. 5 % diantaranya tidak hidup dengan orangtua. Meski 83 % diantaranya hidup bersama orangtua, tetapi tidak semuanya bisa terpenuhi hak-haknya. Ada anak yang hidup dengan orangtua yang penuh dengan konflik, kondisi lingkungan yang rentan diskriminasi maupun stigmatisasi sehingga membutuhkan perlindungan khusus,” ujar Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Perlindungan khusus dijelaskan Nahar diberikan pula bagi anak kelompok minoritas dan terisolasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 pasal 59 disebutkan bahwa anak dari kelompok minoritas dan terisolasi berhak mendapatkan perlindungan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama dengan anak-anak lainnya guna mencapai kesamaan keadilan sekaligus juga untuk mencapai kesejahteraan lahir batin.

“Perlakuan diskriminasi yang dialami kelompok minoritas seringkali berdampak pada akses layanan yang semestinya didapatkan oleh anak, seperti hak atas identitas diri, partisipasi, pengasuhan berkualitas, pendidikan, kesehatan dan perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi,” terang Nahar.

Anak minoritas dan terisolasi dapat berasal dari kelompok masyarakat yang memiliki budaya, kepercayaan dan bahasa berbeda dari kelompok mayoritas. Perbedaan tersebut seringkali membuat mereka rentan memperoleh perlakuan diskriminatif dan kekerasan.

Di Mataram, NTB, Kemen PPPA mengidentifikasi adanya anak kelompok minoritas yang mengalami stigmatisasi dan labelisasi hingga kekerasan akibat perbedaan aliran kepercayaan atau keyakinan. Puluhan anak diantaranya hidup bersama orangtua selama bertahun-tahun di penampungan.

Dalam kegiatan Dialog Bersama Anak, Orangtua, dan Pendamping Anak dalam Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Anak Kelompok Minoritas dan Terisolasi yang digelar sehari sebelumnya, Kamis 5 September 2019, terungkap telah ditemukan beberapa masalah spesifik yang dialami anak kelompok minoritas di NTB, seperti perundungan atau bullying di sekolah dan lingkungan bermain, trauma masa lalu akibat kekerasan dan perlakuan diskriminasi, tempat tinggal yang kurang layak, dan masalah pola pengasuhan.dok-red

Oleh karena itu, Kemen PPPA melalui Asisten Deputi Perlindungan Anak Berkebutuhan Khusus menyelenggarakan kegiatan Fasilitasi Penguatan Pemangku Kepentingan dan Lembaga dalam Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Anak Kelompok Minoritas dan Terisolasi, kegiatan ini digelar bertempat di Astoria Hotel Mataram, NTB pada, Jum’at (06/09/2019).

“Kita tidak bisa menutup mata, karena mereka juga anak-anak kita. Kalau ada anak yang mendapatkan label atau stigma yang menjadikan mereka kesulitan akan akses sekolah dan hak dasar lainnya, kita berharap semua yang hadir dalam kegiatan ini menjamin semua anak Indonesia khususnya yang berada di NTB bisa terpenuhi hak-haknya. Sebab pemenuhan atas hak anak menjadi kewajiban bagi keluarga, masyarakat dan negara,” ungkap Nahar.

Dari kegiatan Dialog Bersama Anak, Orangtua, dan Pendamping Anak dalam Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Anak Kelompok Minoritas dan Terisolasi yang digelar sehari sebelumnya, Kamis 5 September 2019 ditemukan beberapa masalah spesifik yang dialami anak kelompok minoritas di NTB, seperti perundungan atau bullying di sekolah dan lingkungan bermain, trauma masa lalu akibat kekerasan dan perlakuan diskriminasi, tempat tinggal yang kurang layak, dan masalah pola pengasuhan.

Dari kegiatan fasilitasi, ada banyak tawaran solusi yang kemudian muncul diantaranya upaya memaksimalkan layanan P2TP2A, melibatkan partisipasi anak dalam berbagai kegiatan, serta memperbanyak ruang pertemuan dan Forum Anak untuk membangun kepercayaan diri anak. Hasil diskusi menjadi masukan Kemen PPPA dalam merumuskan kebijakan yang tepat bagi anak kelompok minoritas dan terisolasi.[]hms/Jar

Komentar

News Feed