oleh

Indonesia Antara Ada dan Tiada

-Opini-1.827 views

Opini, Publikasinews.com – Terlepas dari maraknya sebuah novel yang berjudul Ghost Fleet karya fiksi dari PW Singer dan August Cole dimana ada episode Indonesia sudah tiada pada tahun 2030, akhirnya menggelitik saya untuk sedikit memikirkan Negara Indonesia sebagai sebuah entiti yang eksistensinya harus nyata dan terus ada dan mencoba menanggapi kerisauan NEGARA INI AKAN BUBAR 2030 dan seharusnya wajib hukumnya dimaknai secara positif, sebagai alarm untuk kita menjaga keutuhan negara ini.

Paradoks Indonesia (2017), Indonesia mengalami bahaya besar dari sisi geopolitik kawasan (proxy war China vs USA), di mana berdampak ke negeri ini yang menjadi “planduk” yang akan mati ditengah ketimpangan dan kemiskinan rakyat di negeri ini antara lain telah terjadi :

■ oligarkhi ekonomi
■ invansi ekonomi asing

Dan apabila dua hal tersebut yaitu oligarkhi ekonomi dan invansi ekonomi terjadi terlalu besar, dan lain sebagainya ini tentu akan melumpuhkan negara ini dalam waktu dekat yang disertai jika kepemimpinan nasional lemah maka bukan tidak mungkin akan terjadi bubarnya negara ini..

Mungkin sedikit mencermati Konsepsi Negara Bubar :

Sekilas dalam mencermati sebuah negara bubar mungkin dapat disaksikan dalam penghujung abad lalu kisah Uni Soviet dan bubarnya negara negara Balkan.

Di masa lalu hal itu juga terjadi, baik dalam konsep negara “khilafah” (Islam maupun Katholik), serta negara tradisional atau kerjaaan (seperti bubarnya negara Belanda menjadi Belgia dan Belanda), atau di era ter-modern, berpisahnya Cheko dengan Slovakia serta Sudan vs Sudan Selatan, masing masing menjadi negara baru.

Berbagai teoritikus mencoba mengembangkan konsep negara gagal (failed state) sebagai cikal bakal bubarnya sebuah negara.

Mereka mendifinisikan negara tersebut begitu lemah dalam menjaga teritorinya, melindungi rasa aman warganya, melindungi “basic need” rakyat dan gagal menggali sumber pembiayaan negara, seperti pemungutan pajak.

Awal sebelum sampai gagalnya sebuah negara maka difinisi awal negara dalam tahapan kegagalan akan memasuki fase “fragile state” (negara rapuh) dan “crises state” (negara krisis).

Dalam pandangan tersebut , seperti yang dikembangkan Crisis State Research Center London School of Economics (CSRC-LSE), mengasumsikan negara yang didifinisikan adalah dalam versi “Democratic state” dan “Market Economy”

Sebagai ilustrasi dimana dalam pandangan Professor Daniel Lambach dari Universitas Duisburg Esen, mengemukan padangan dalam melihat konsep negara sebagai kunci melihat negara gagal yang menurutnya, dapat dilihat dalam perspektif Weberian atau Lockian, yang dengan melihat sisi “public good” sebagai sentral atau sebaliknya, negara dapat dilihat dalam perspektif political economy, yang dikembangkan Marxian dan atau Gramcian, dimana negara adalah sebagai tempat kepentingan berbagai kelompok kepentingan mengelola kepentingannya.

Dalam pandangan Weberian, yang melihat eksisensi negara dan pusat (bukan lokal/daerah), lemahnya negara hanya dilihat jika power negara dalam menjalankan fungsinya, sebagai “coercive power” (tentara, poliso dan birokrasi) melemah. Dan konflik menjadi besar di dalam masyarakat. Sebaliknya, dalam persepektif non Weberian, memang negara itu sesungguhnya tidak benar benar ada. Sehingga andaikan Indonesia bubar, hal tersebut dapat mungkin saja tidak menjadi masalah bagi Kesultanan Jogya, atau bagi rakyat Aceh, atau bagi rakyat Papua dan bagi pemilik2 hutan serta perkebunan2 besar seperti Sinar Mas, Lippo, dll.

Professor Lembach mengembangkan teori gagalnya negara dalam dua model, yakni :

1. Model PRIVATITION

2. Model FRAGMENTATION

Model pertama, menurutnya, negara gagal ketika ada “Hidden Agenda” memindahkan kekayaan negara dan asset asset negara kepada konglomerat swasta. Sehingga, negara hanya merupakan birokrasi formalitas saja. Sedangkan model kedua, jika terjadi konflik golongan masyarakat di mana satupun tidak ada yang menang.

Thesis Professor Lambach nampaknya lebih murni dibandingkan thesis2 lainnya, karena banyak thesis ahli ahli barat dibuat dalam perspektif dunia barat untuk tetap mengontrol negara negara didunia.

Dalam teori Postkolonial, barat tidak ingin melepaskan ketergantungan negara negara berkembang dan miskin untuk tetap tumbuh mandiri.

Melihat thesis Lambach ini akhirnya dapat melihat bahwa Bangsa Indonesia memang sudah terbelah (Divided Society) antara kekuatan “kekuatan Nasionalis Agamis vs Kekuatan Kebhinnekaan”, yang sampai saat ini terus menerus perang urat syaraf (psy war) sampai dengan cara-cara propaganda di berbagai medsos yang saling baku hantam, dan semua itu semata hanya untuk merebut kekuasaan.

Singkatnya saat ini jelas posisi berhadapan tersebut antara kekuatan Nasionalis-Islami
dimana Kelompok Nasionalis-Islami yang mengharapkan konsep Indonesia harus menjadi milik pribumi, religius, HARMONI, juga menekankan pemerataan sosial sebagai arus utama.
berhadapan dengan agenda yang mengatasnamakan masyarakat PLURALIS KEBHINEKAAN

Agenda agenda pribumi dan keadilan sosial sebagai tolak ukur bubar tidaknya Indonesia ke depan menjadi suatu keniscayaan..

Saat ini mungkin akan menjadi sebuah kecemasan yang mendasar andai saat ini INDONESIA DALAM UJUNG TANDUK ANTARA ADA DAN TIADA

Nilai Nilai Harmoni sejatinya haruslah tetap mengedepankan pada SEJARAH BANGSA ini karena tentu tidak hanya sekedar masalah membangun secara fisik dan beton beton semata seakan negeri ini nampak eksis dan nyata …

AKHIRNYA :
Masih adakah Indonesia kini ?
Silahkan direnungkan kembali

Penulis Oleh: Ir.Hj. Nurul Candrasari, M.Si
(PENDIRI KAUKUS PEREMPUAN POLITIK INDONESIA/KPPI)

Komentar

News Feed