oleh

Kejaksaan Agung Terus Mengejar Berbagai Aset Yayasan Supersemar Samapai Keluar Negara

Jakarta, Publikasinews.com – Kejaksaan Agung terus mengejar berbagai aset yang dimiliki Yayasan Supersemar untuk dikembalikan kepada negara. Hal ini usai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyita Gedung Granadi yang digunakan sebagai kantor oleh Yayasan Supersemar.

Bahkan, Kejaksaan Agung akan mencari aset-aset Yayasan Supersemar yang diduga juga berada di luar negeri. “Nanti kami cari,” kata Direktur Pertimbangan Hukum Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan Agung, Yogi Hasibuan di kantornya, Jakarta, Rabu (21/11).

Yogi mengatakan, aset-aset dari Yayasan Supersemar sedang dicari oleh Pusat Pemulihan Aset (PPA), Kejaksaan Agung. Ada beberapa aset Yayasan seperti enam kendaraan yang sedang diajukan untuk disita.

Selain Gedung Granadi, negara sudah menyita tanah dan bangunan di kawasan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan luas 300 meter persegi. Kedua bangunan itu sedang menunggu perhitungan dari Kantor Jasa Penilai Publik Asmawi sebelum dilelang.  

Kejaksaan Agung telah menyita 113 rekening dan tabungan Yayasan Supersemar. “Kalau disetorkan ke negara uangnya sudah Rp 240 miliar,” kata Yogi.

Kasus bermula saat Kejaksaan Agung pada 1998 menemukan penyelewengan dana beasiswa dari Yayasan Supersemar. Penyelewengan diduga mengalir ke perusahaan milik anak-anak dan orang dekat Presiden Soeharto mulai 1985 sampai 1998.

Padahal, dana Yayasan Supersemar merupakan uang negara karena dihimpun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976. Ketika itu, Soeharto mewajibkan semua bank pelat merah menyisihkan 2,5 persen laba bersihnya untuk yayasan yang dia dirikan.

Awalnya, Kejaksaan Agung mengusut kasus ini secara pidana, hanya saja Jaksa Agung ketika itu, Andi M. Ghalib, malah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan pada 11 Oktober 1999. Andi beralasan tuduhan Soeharto menyelewengkan dana tak terbukti.

Pada Desember 1999, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid memerintahkan pengusutan dana Yayasan Supersemar dan kekayaan Soeharto lainnya kembali dibuka. Kejaksaan Agung lantas menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000.

Perkara ini masih tahap Penuntutan pada Agustus 2000. Kendati, persidangan berhenti di tengah jalan karena Soeharto dianggap sakit otak permanen.

Pada 9 Juli 2007, Kejaksaan Agung kembali menggugat Soeharto secara perdata. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan jaksa yang meminta menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar. Soeharto sendiri lolos dari gugatan karena dianggap penyelewengan dana dilakukan melalui Yayasan Supersemar.

Putusan hakim itu bertahan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.  Hanya saja, dalam putusan kasasi MA pada 2010, terdapat salah terkait nilai ganti rugi. Pada Maret 2015 jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Red

Komentar

News Feed