oleh

Kritik PGI Terhadap DPR Tentang 2 Pasal RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan

Jakarta, Publikasinews.com – Jimly Asshiddiqie Mantan Ketua MK menyarankan pemerintah dan DPR untuk mendengarkan kritik dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia atau PGI terkait Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Ini terkait keberatan PGI atas beberapa pasal yang mengatur kegiatan ibadah sekolah Minggu dan katekisasi oleh geraja.

“Kritik itu ada baiknya didengarkan. Kita harus lebih banyak mendengar, karena itulah esensi dari demokrasi,” ujar Jimly di Universitas Indonesia, Kamis, 25 Oktober 2018.

Demokrasi, kata Jimly, harus bersifat deliberatif dan partisipatif. Artinya jangan yang memilih suara lebih banyak ingin menentukan sendiri. “Suara mayoritas belum tentu benar. Suara mayoritas belum tentu adil. Makanya kita juga harus dengar pendapat minoritas. Siapa tahu ada wisdom yang diperlukan di situ,” kata Jimly.

Menurut Jimly, kebiasaan di Indonesia itu ingin mengatur segala hal secara terperinci. Akhirnya terlalu banyak aturan yang berlaku. “Ini cenderung kita menjadi over regulated society,” ungkap dia.

Ia menjelaskan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan harus dievaluasi, terutama pasal-pasal yang dikritik PGI. Apakah memang harus buatkan undang-undang atau tidak. “Kalau memang perlu sampai seberapa jauh diatur. Itulah perlunya kita diskusi terbuka dengan PGI. Dari kelompok-kelompok yang lain juga harus kita dengar,” ujar Jimly.

Baca: PGI Protes RUU Pesantren dan Pendidikan Agama Pasal-pasal Ini

PGI memprotes RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. 

Mereka keberatan atas pasal 69 dan 70 yang mengatur kegiatan ibadah sekolah Minggu dan katekisasi. Dalam dua pasal ini, RUU mengatur soal minimal anak didik sekolah Minggu dan katekisasi serta mewajiban mereka untuk mengantongi izin dari kantor Kementerian Agama tingkat Kabupaten/ Kota.

“Sekolah minggu memang memakai kata sekolah, tapi sekolah Minggu dan katekisasi itu adalah bagian dari peribadahan gereja,” kata Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom saat dihubungi Tempo, Jumat, 26 Oktober 2018.

Menurut Gomar, sebagai sebuah peribadahan gereja, maka sekolah minggu tidak bisa dibatasi jumlahnya. “Ini dibatasi 15 orang. Disebutkan juga harus dapat izin dari Kemenag. Masa untuk beribadah minta izin,” ujarnya. Red

Komentar

News Feed