oleh

Saksi Fakta Menguak Perbedaan layanan Security Karyawan Tetap PPATR dengan Outsourcing

Jakarta, PublikasiNews.Com – Sidang yang dimulai pada pukul 16.15 WIB kali ini, telah memasuki persidangan ke-13 terkait kasus perselisihan perburuhan antara karyawan tetap dengan manajemen Perhimpunan Penghuni Apartemen Taman Rasuna (PPATR) kembali digelar Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) DKI pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Gunung Sahari Selatan Kemayoran, pada Rabu (27/2/2019) sore.

Dengan agenda sidang menghadirkan saksi fakta, yakni Meverick Kukoc dan Erna WE. Dalam keterangan kesaksiannya, kedua saksi tersebut walaupun kenal dengan para penggugat, kenalnya sebatas karena sebagai pihak keamanan atau security gedung apartemen yang dimana para saksi tinggal.

Saksi fakta yang dihadirkan dalam sidang ke-13 Meverick Kukoc (tengah berbaju biru) dan Erna WE alias Stella (baju putih) saat mereka memberikan kesaksian ketika digelarnya persidangan terkait perselisihan perburuhan antara karyawan tetap dengan manajemen Perhimpunan Penghuni Apartemen Taman Rasuna (PPATR) kembali digelar Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) DKI pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Gunung Sahari Selatan Kemayoran, pada Rabu (27/2).dok-istimewa

Dijelaskan pula bahwa para penggugat yang merupakan security apartemen Taman Rasuna selalu melayani para penghuni dengan baik. “Layanan yang mencangkup keamanan serta kepercayaan yang tidak kami dapatkan dengan tenaga security outsourcing saat ini,” kata Meverick kepada majelis hakim.

“Saya dan beberapa penghuni lainnya, merasa nyaman para anggota lapangan pihak keamanan apartemen sudah seperti keluarga. Perbedaan pelayanan sangat signifikan antara security outsourcing dengan saat masih dipegang security karyawan tetap,” ungkap Meverick Kukoc

Pada persidangan kali ini juga terungkap adanya biaya service charge diluar biaya listrik dan air, biaya minimum sekitar Rp 900 ribu perbulan hingga Rp 2 juta. Selain, pengurus juga menyewakan space ruangan-ruangan kosong.

Sementara itu, Erna yang sering disapa Stella, dalam kesempatan tersebut juga memaparkan, jika Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan manajemen PPATR dengan alasan efisiensi merupakan hal keliru.

“Kalau grand design kelihatan banget ini diduga merupakan ‘bom waktu’ yang ada di manajemen PPATR, mereka melakukan tindakan PHK ini agar menghindari biaya besar, dan pengelola melakukan hal itu kenapa tidak?. Dari sisi penghuni, mereka (Manajemen PPATR) harus tahu bahwa security atau penjaga keamanan merupakan unsur yang penting yaitu memberikan kenyamanan para penghuni,” ujar Stella sapaan akrab Erna.

Sedangkan saat ini, lanjut Stella kalau security outsourching, penghuni pasti akan susah mengenal security begitupun sebaliknya. Jika ditanya mengapa tindakan ini dilakukan oleh pihak PPATR?
Logikanya adalah kalau ada Efisiensi? dengan dikeluarkan 36 karyawan security padahal yang masuk karyawan outsourching 98 orang, ini bukan efisiensi, malah ini mah pemborosan, iya kan,” tegasnya.

Ulrikus Ladja, SH, selaku Kepala Biro Advokasi dari Lembaga Advokasi Hak Azasi Manusia (LEADHAM) sebagai kuasa hukum penggugat dengan didampingi Wilvridus Watu, SH mengatakan telah menjadi catatan penting, bahwa seharusnya pihak manajemen PPATR benar-benar memperhatikan UU Ketenagakerjaan.

“Jelas bahwa dalam pasal 151 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang Undang Ketenagakerjaan) disebutkan bahwa pengusaha, pekerja atau karyawan atau buruh, serikat pekerja atau serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK),” tuturnya.

Selanjutnya, dalam pasal 151 ayat (2) menjelaskan bahwa jika pemutusan hubungan kerja tidak bisa dihindarkan wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau serikat buruh atau dengan pekerja/karyawan apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh.

Bahwa ketentuan pasal 151 ayat (1) dan ayat (2) berarti, PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak melainkan harus melalui perundingan terlebih dahulu. Kemudian, apabila hasil perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja atau buruh atau karyawan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Demikian ketentuan pasal 151 ayat (3) UU ketenagakerjaan.

Adapun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dimaksud adalah mediasi ketenagakerjaan, konsiliasi ketenagakerjaan, arbitrase ketenagakerjaan dan pengadilan hubungan industrial. Hal tersebut diatur lebih jauh di dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang UU PPHI (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).

Salah seorang istri dari karyawan Security yang di PHK, Novie (38) saat ditanya usai persidangan mengatakan bahwa dirinya dan para istri yang suaminya terkena PHK akan selalu support perjuangan kuasa hukum yang telah membantu mereka.

“Saya sebagai istri Darmawan mendukung suami untuk menuntut pihak manajemen PPATR, dimana saya merasa sedih dan kecewa, karena saya sendiri pada saat suami di PHK tersebut, kondisi kesehatan saya dalam keadaan sakit karena menderita kanker serviks, menjelang ramadhan tindakan PHK terjadi (bulan Mei 2018),” tukasnya.

“Saya lihat suami saya tidak ada kesalahan, suami saya telah berkerja selama 14 tahun di apartemen Taman Rasuna dengan manajemen PPATR. Harapan saya agar manajemen PPATR mau membayarkan gaji yang tertunda serta pesangon suami saya sesuai dengan UU dan upah ketenagakerjaan,” terang Novie.

Dalam hal ini yang tak kalah pentingnya, kata
Dr (H.C), Ir. Rismauli D. Sihotang selaku Ketua Dewan Pengurus Wilayah Lembaga Advokasi Hak Azasi Manusia (DPW LEADHAM) Jawa Tengah ketika diminta tanggapannya, “Semoga hak-hak wong cilik masih ada tempat di ranah lembaga Peradilan serta dapat memiliki hak yang berkeadilan dan berperikemanusiaan, sesuai amanat Undang-Undang RI,” tegas Risma []Jar/red

Komentar

News Feed