oleh

SBMI-Greenpeace Mendesak Pemerintah Segera Terbitkan Peraturan untuk Melindungi ABK Indonesia

Jakarta – PublikasiNews.Com | Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bersama dengan Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai di Taman Aspirasi, kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat pada, Kamis (27/08/2020).

Dengan membawa keranda mayat dan batu nisan, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bersama dengan Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai di Taman Aspirasi, kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat pada, Kamis (27/08).dok-istimewa

Kegiatan aksi yang digelar bertujuan untuk
mendorong Presiden Joko Widodo segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelindungan Anak Buah Kapak (ABK) Indonesia. Peraturan tersebut seharusnya sudah keluar selambat-lambatnya pada 22 November 2019 lalu, atau dua tahun sejak terbitnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).

Aksi damai tersebut merupakan rangkaian dari aksi sebelumnya yang dilakukan oleh SBMI di halaman Gedung Nusantara 1, DPR-RI, yang dilakukan pada 13 Juli 2020, dengan tuntutan serupa. “Peraturan Pemerintah akan mengatur berbagai hal teknis tentang perekrutan anak buah kapal (ABK) migran, sehingga mempersempit celah praktik pelanggaran hak tenaga kerja serta hak asasi manusia para ABK perikanan,” kata Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI dalam siaran persnya.

Menurut Kertas Laporan Investigasi SBMI-Greenpeace, [1] sepanjang tahun 2015-2020, SBMI menerima pengaduan dari sekira 338 orang ABK yang bekerja di kapal ikan berbendera asing. Berdasarkan sebelas (11) indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional/ILO C29, [2] maka kasus yang dialami ratusan ABK tersebut di antaranya penahanan upah, kondisi kerja yang buruk, jam kerja berlebihan, penipuan, dan kekerasan fisik serta kekerasan seksual. Dari 338 orang, sebanyak sebelas (11) ABK menjadi korban kerja paksa bahkan meninggal dunia di atas kapal.

Disisi lainnya, Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan bahwa mirisnya lagi, beberapa jasad ABK yang meninggal di atas kapal, ada yang dilarung ke laut lepas tanpa seizin keluarga. “Memperhatikan berbagai kasus kematian ABK asal Indonesia yang terjadi belakangan ini, terdapat urgensi adanya payung kebijakan untuk membenahi tata kelola perekrutan dan pelindungan ABK migran,” ungkapnya.

Selain untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah juga harus segera meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan selambat-lambatnya pada Desember 2020. Selain pelindungan melalui peraturan, pemerintah juga harus segera menyelesaikan kasus-kasus ABK yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), serta mendata para ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera asing. Pendataan sangat penting sebagai bagian dari pengawasan terhadap para ABK.

“Para anak buah kapal (ABK) kebanyakan bekerja di kapal ikan berbendera asing dengan frekuensi sandar ke pelabuhan yang sangat jarang, karena kapal banyak melakukan alih muatan di tengah laut. Ini menjadi celah bagi terjadinya kerja paksa atau perbudakan modern,” tegas Afdillah.[]hms/SBMI/Zark

Komentar

News Feed