oleh

Catatan Akhir Tahun Aliansi Jurnalis Kombatan Soroti Kekerasan Pada Wartawan

-Uncategorized-2.068 views

Jakarta, PUBLIKASInews.com – Kasus kekerasan terhadap jurnalis di sepanjang tahun 2017 berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Kombatan (AJK), tercatat 15 kasus atau meningkat sekitar 90 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 8 kasus. Dengan catatan tersebut, AJK menilai tahun 2017 kembali menjadi tahun berbahaya bagi jurnalis.

“Kasus-kasus kekerasan yang dialami jurnalis tersebut antara lain, intimidasi, ancaman, penghalangan liputan, hingga kekerasan fisik dan verbal,” ungkap Koordinator Aliansi Jurnalis Kombatan, Ahmad Ahyar, seperti siaran pers yang diterima Redaksi, Minggu (31/12/17).

Tindakan-tindakan kekerasan seperti itu, lanjutnya, melanggar pasal 4 ayat 1 dan ayat 3 serta junto pasal 18 ayat 1 UU Pers No. 40/1999, dan dapat dikenakan ancaman hukuman 2 tahun penjara serta denda Rp500 juta.

Ahyar pun mengimbau, para jurnalis yang mendapatkan kekerasan saat menjalankan tugas agar menempuh jalur hukum dan tidak mengambil jalan damai dengan pelaku, dan bagi aparat penegak hukum agar memasukkan UU No. 40/1999 sebagai acuan tuntutan hukum bagi pelaku kekerasan.

“Aliansi Jurnalis Kombatan dengan tegas menolak segala bentuk praktik impunitas kepada pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Untuk itu kami meminta aparat penegak hukum untuk serius menangani dan mengungkap kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis yang belum terselesaikan, serta menuntut komitmen para penegak hukum terhadap kebebasan pers dan perlindungan terhadap profesi jurnalis sesuai UU Pers No. 40/1999,” ucapnya.

Pembentukan Serikat Pekerja Media

Banyaknya jurnalis yang status ketenagakerjaannya tidak jelas terutama dalam menerima upah tidak layak juga menjadi sorotan Aliansi Jurnalis Kombatan.

“Aliansi Jurnalis Kombatan mengajak para jurnalis untuk bersama membangun serikat pekerja baik di tingkat perusahaan atau lintas media, agar memperbaiki kondisi yang kurang menguntungkan jurnalis. Termasuk timbulnya kasus jurnalis yang dipaksa untuk mengundurkan diri,” tukasnya.

Menurutnya, kondisi yang mendorong urgensi pembentukan serikat pekerja media adalah saat ini perusahaan cenderung menuntut loyalitas, tapi tidak dibarengi dengan upah layak.

Jurnalis, misalnya, di era digital bekerja di lapangan melebihi standar waktu. Jurnalis harus menguasai seluruh aspek terkait platform digital alias berkemampuan multi tasking.

“Pembentukan serikat pekerja media, dapat memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarga. Untuk itu kami mengajak segenap komunitas jurnalis dan organisasi pers untuk bersama-sama memperjuangkan upah sektoral pekerja media agar dimasukkan dalam standar Upah Minimum Provinsi (UMP),” ujarnya.

Dia menyebutkan, upah layak bagi seorang jurnalis sekurang-kurangnya berada di kisaran minimal 5 sampai 10 persen diatas upah sektor industri. Apalagi, jurnalis merupakan profesi yang bekerja melebihi jam kerja delapan jam perhari.

“Perusahaan media wajib memberi upah kepada jurnalis sekurang-kurangnya sesuai dengan Upah Minimum Provinsi minimal 13 kali setahun, sudah termasuk pemberian THR pada perayaan hari besar keagamaan. Serta jaminan asuransi BPJS Ketenagakerjaan/Kesehatan,” bebernya.

Sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan yang memberikan upah lebih rendah dari Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Mininum Kabupaten/Kota (UMK), dapat dipidana paling rendah satu tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta.

Ketentuan tentang Ketenagakerjaan ini perlu ditekankan, karena banyak kasus perusahaan media hanya memberikan kartu pers kepada jurnalisnya tanpa memberi gaji, dan meminta jurnalisnya untuk mencari penghasilan sendiri. Aliansi Jurnalis Kombatan berharap hal itu menjadi perhatian Pemerintah, tutama Dinas Sosial dan Tenaga Kerja agar secara aktif mengawasi perusahaan media, bahkan melakukan audit terhadap kondisi ketenagakerjaan di sektor media.

“AJK juga menekankan, bahwa tanggungjawab untuk memberikan kesejahteraan bagi jurnalis ada di perusahaan medianya, dan bukan menjadi tanggungjawab Pemerintah di segala tingkatan maupun narasumber,” tutupnya. (Red)

Komentar

News Feed