oleh

Dugaan Mal Praktek Oknum Dokter RS ANNA, serta tindakan Manipulatif

Jakarta, PubikasiNews.Com – Tujuan utama kami adalah harus ada keterbukaan kemudian harus ada tanggung jawab. Bukan berarti kami bermaksud mengejar konpensasi ataupun sebagainya, tidak.

Hal ini disampaikan salah seorang keluarga Ira Puspita Rahayu (38), Tian Bachtiar saat memberikan keterangannya ketika disambangi awak media publikasinews.com dikediamannya komplek Kemang IFI Graha, Jalan Bonang 4 Blok G-10 Nomor 1 RT01/07 Kelurahan Jatirasa, Kecamatan Jatiasih Kota Bekasi Jawa Barat pada, Sabtu (2/3/2019) pagi.

Warga Bekasi yang diduga menjadi korban mal praktek RS ANNA, Ira Puspita Rahayu (38) dengan didampingi sang Ayah, Didi Suhardi (72) ketika memberikan keterangan persnya saat disambangi para wartawan dikediamannya Komplek Kemang IFI Graha, Jalan Bonang 4 Blok G-10 Nomor 1 RT 01/07 Kelurahan Jatirasa, Kecamatan Jatiasih Kota Bekasi Jawa Barat pada, Sabtu (2/3).dok-istimewa

Dalam penuturannya Tian juga mengatakan bahwa pasien berhak tau penyakit yang dideritanya. “Kami ingin meminta informasi medik, yang pertama itu. Semua orang (pasien) yang berobat, itu pasti ingin tau apa sih sakitnya saya, gitu. Itu pun tidak dikasih tau, ini menurut saya fatal. Ya, karena hal itukan informasi paling mendasar dan tentunya merupakan hak pasien,” tuturnya.

Kemudian yang kedua, lanjut Tian, kita (ibu Ira) ini meminta pemulihan seperti sediakala. “Nah itu juga tidak dipenuhi, gitu loh. Hanya dikasih obat yang sekedar ala kadarnya, tapi justru penyakitnya semakin memburuk. Hingga akhirnya mengalami kondisi seperti itu, ya kan bernanah dan sebagainya,” ungkap Tian Bachtiar.

Tian Bachtiar (kanan) ketika memberikan penjelasan kepada wartawan dengan didampingi korban, Ira Puspita Rahayu (38) dan sang ayah, Didi Suhardi (72) tengah, terkait dugaan mal praktek dan tindakan manipulatif pihak RS ANNA Bekasi yang berlokasi di Jalan Raya Pekayon Nomor 36, Kelurahan Jaka Setia, Kecamatan Bekasi Selatan Kota Bekasi, Sabtu (02/3).dok-istimewa

Masih kata Tian, saat pertama dikeluhkan usai operasi usus buntu (Appendix), sempat diperiksa oleh dokter yang sama. Jadi pertama oleh dokter bedahnya berinisial BY, dibilang penyakit HERPES. “Kemudian direkomendasi untuk ke dokter kulit dan bertemu dan dilayani dr. Citra yang merupakan spesialis penyakit kulit. Dan berdasarkan pemeriksaan, menurut dr. Citra itu bukan herpes,” paparnya.

“Kita datang kesana sebagai korban yang mengadukan kepada owner, (namun) pengaduan yang disampaikan justru di charge, disuruh membayar uang konsultasi, kemudian biaya buka perban,” terang Tian.

Tian juga mengungkapkan bahwa pihak RS ANNA melalui Kepala Bidang Perawatan Pasien (sempat) menyampaikan uang simpati dari para perawat. “Akhirnya (tetap) kami tolak, karena kami bermasalah dengan dokternya dan pihak manajemen rumah sakit bukan dengan perawatnya,” tegasnya.

Secara prosedural, diduga adanya prosedur medik yang tidak dijalankan. Bahkan informasi medik sampai berita ini diturunkan pihak keluarga tidak menerimanya. “Akhirnya karena tidak ada kepastian dari pihak RS ANNA, bahkan sekalipun kita sudah bertemu dengan sang owner, kami membuat surat pengaduan ke instansi dan lembaga terkait,” pungkasnya.

Sementara itu, Ira yang pekerjaan sehari-harinya sebagai pengemudi bus Trans Jakarta terpaksa harus terhenti mencari nafkah untuk keluarganya. Ia menceritakan kronologis kejadian yang menimpanya tersebut.

“Senin, 11 Januari 2019
pukul 10.00 WIB saya datang ke Rumah Sakit ANNA, di Jalan Raya Pekayon Nomor 36, Kelurahan Jaka Setia, Kecamatan Bekasi Selatan Kota Bekasi untuk melakukan operasi appendix (usus buntu). Kondisi fisik diperiksa, dan saya dinyatakan siap untuk menjalani operasi. Pukul 19.00 hingga selesai pada pukul 21.00 WIB operasi dilakukan yang ditangani dr. BY (dokter ahli bedah),” ucapnya.

Dijelaskan pula olehnya bahwa saat menjelang operasi, dokter menyuntikan obat bius pertama melalui spinal yang terasa panas di pinggang sebelah kiri. Kemudian dokter menyuntik yang kedua kalinya. Operasi tersebut berjalan lancar.

“Pukul 21.00 WIB saya dikembalikan ke ruang perawatan. Pada saat itu, keluarga saya melihat luka (seperti luka bakar) disebelah kiri dan mengeluarkan air. Keluarga segera menghubungi perawat, lalu perawat menghubungi dokter jaga. Mereka berasumsi bahwa saya alergi obat,” kata Ira.

Perawat jaga mengompreskan nacl, dan setelah reaksi bius hilang, luka tersebut sangat perih, panas seperti terbakar. Sampai menjelang pagi, suster jaga terus mengompres dengan nacl.

Selasa, 12 Januari 2019:
Luka tersebut kemudian difoto dan dikirim ke dr. BY yang kemudian merekomendasi Ira untuk konsultasi ke dr. Citra SpKK (ahli penyakit kulit). Saya kemudian diberi salep gentamycyn sampai akhirnya pulang ke rumah.

“Luka semakin melebar dan bernanah, panas dan sangat sakit. Dan selama di rumah, pasca operasi, saya merasakan nyeri dan sakit luar biasa serta panas terbakar di daerah luka tersebut. Saya kembali konsultasi lagi ke dokter BY dan dinyatakan HERPES, lalu dirujuk untuk berobat kembali ke dr. Citra. Menurut dr. Citra luka tersebut bukan herpes. Namun dia juga tidak menjelaskan diagnosanya. Oleh dr. Citra saya diberi salep, antibiotic, dan pereda sakit. Namun sama sekali tidak membantu. Luka makin parah, timbul nanah dan semakin sakit,” jelasnya.

Sabtu, 16 Februari 2019 luka tersebut semakin melebar, Ira menemui dr. Yenny A. Julizir, Sp.OG selaku owner RS ANNA. Kedatangannya bukan untuk berobat. Namun untuk meminta pertanggung jawaban Rumah Sakit ANNA, yang diduganya telah salah prosedur pada saat pembedahan yang mengakibatkan dirinya menderita luka. Namun ironisnya, Ira kembali tidak diberitahu apa yang terjadi sehingga perutnya mengalami luka.

Pihak rumah sakit sempat mengundang Ira malah untuk KLARIFIKASI. Tidak ada komitmen apapun dari pihak rumah sakit yang kembali meminta waktu untuk dibicarakan internal.

Pada Rabu, 27 Februari 2019
pihak rumah sakit menyatakan tidak bersedia untuk datang menjenguk Ira dan belum menyampaikan informasi medik seperti yang diminta pihak keluarga. Sebaliknya, mereka meminta pasien datang ke rumah sakit. Permintaan tersebut, tidak mungkin dipenuhi mengingat kondisi kesehatan pasien yang masih sakit dan tidak memungkinkan keluar rumah. Pihak keluarga menyimpulkan bahwa PIHAK RUMAH SAKIT ANNA diduga TIDAK BERTANGGUNG JAWAB.

PENDERITAAN yang dirasakan Ira, bahwa selama satu bulan lebih ia tidak bisa bekerja, untuk mencari nafkah demi menghidupi 3 orang anak (1 SMA, 2 SD) dan ke-2 orang tua saya. “Akibat tidak bekerja, tentu penghasilan yang saya dapatkan pun tidak maksimal. Sedangkan saya harus keluar biaya besar untuk mengobati luka akibat kelalaian prosedur medik, baik untuk pemeriksaan awal, operasi, maupun biaya rawat jalan,” tandasnya.

Humas RS ANNA, Sri saat dihubungi wartawan melalui sambungan telepon selulernya untuk diminta klarifikasinya hanya menjawab ‘Wa ‘alaikum salam’. []Red

Komentar

News Feed