Jakarta, Publikasinews.com – Tanggal 1 April 2018 nanti Jenderal Gatot Nurmantyo memasuki masa pensiunnya. Berbeda dengan mantan Panglima TNI sebelumnya, mulai dari era Soekarno sampai masa kepresidenan SBY, Gatot memiliki peluang besar untuk melanjutkan “karir” nya sebagai Presiden RI.
Konon, menurut sejumlah rilis lembaga survei, meski nama Gatot sudah masuk ke bursa calon presiden untuk Pilpres 2019 nanti, namun tingkat elektabilitasnya masih di bawah Prabowo Subianto, apalagi Jokowi yang kokoh bertengger di posisi puncak dengan kisaran 54 persen. Bahkan, sejumlah lembaga survei menyebut tingkat elektabilitas Gatot masih kalah dibanding Agus Harimurti Yudhoyono.
Jika mengacu pada rilis survei, elektabilitas yang dimiliki Gatot sampai Januari 2018 jauh lebih balik ketimbang yang dipunyai Jokowi pada Januari 2013.
Ketika itu nama Jokowi belum masuk dalam bursa capres 2014. Nama Jokowi baru disebut dalam sejumlah rilis survei sejak Agustus 2013. Saat itu pun elektabilitas Jokowi masih jauh di bawah Prabowo. Toh, pada akhirnya, Jokowi mampu meraih 53,15 % suara mengalahkan Prabowo yang didukung 46,85 % suara pemilih.
Kemenangan Jokowi tersebut tidak lepas dari peran media yang gencar memberitakan segala hal positif tentang Jokowi dan mengabaikan segala hal negatif terkait Jokowi yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Akibatnya, popularitas Jokowi lebih banyak dihasilkan oleh sentimen positif ketimbang sentimen negatif yang hanya dilontarkan oleh media abal-abal dan akun-akun media sosial. Tingginya net sentimen (sentimen positif dikurangi sentimen negatif) inilah yang mengakibatkan tingkat elektabilitas Jokowi juga tinggi.
Situasi yang dihadapi Gatot Nurmantyo di tahun 2018 sagat jauh berbeda dibanding situasi yang melingkupi Jokowi pada lima tahun yang lalu. Saat ini, setelah meletakkan tongkat komando tertingginya di ketentaraan pada Desember 2017, sosok Gatot sudah terpental keluar dari sorotan media, termasuk media sosial.
Demikian juga jika dibanding dengan SBY pada 2004. SBY yang mengundurkan diri sebagai Menko Polkam justru semakin menjadi sorotan media. Sama seperti kepada Jokowi jelang Pilpres 2014, pada 2004 pun media membingkai SBY dengan sudut positif. Sebaliknya, Megawati dan capres-capres lainnya diframing negatif.
Dalam Pilpres 2014, media terbelah dua. Ada yang memihak Jokowi. Ada pula yang mendukung Prabowo.
Saat ini malah keberpihakan media terlalu kentara. Sebagai contoh, media ramai menyoroti pengakuan La Nyalla Matalitti tentang Prabowo yang memalaknya Rp 40 milyar. Tetapi, setelah La Nyalla membantah pengakuannya sendiri, media seolah tidak mengetahuinya.
Sebaliknya, kepada Jokowi media mengekspos habis-habisan sampai ke remeh temeh yang tidak perlu. Misalnya, pemberitaan tentang Jokowi yang datang ke stasiun dengan hanya memakai sandal jepit dan kaos oblong.
Dalam pemberitaan tentang mutasi perwira TNI yang dilakukan oleh Gatot Nurmantyo pada Desember 2017, media memosisikan Gatot sebagai pesakitan. Gatot dinarasikan sebagai pembangkang. Ada juga yang menuding Gatot tengah menyiapkan bom waktu. Media lupa pada proses serta kronologis keputusan mutasi yang diambil Gatot.
Pertanyaannya, apakah karena Gatot Nurmantyo nyaris tidak mendapatkan dukungan media, lantas peluangnya untuk memenangi Pilpres 2019 pun pupus?
Sejak pemilu presiden digelar secara langsung pada 2004, seluruh capres yang bertarung memiliki kartu tanda anggota partai politik, Malah, kecuali Jokowi, seluruh capres duduk dalam kepengurusan partai. Sebagian lagi, diketahui sebagai pendiri parpol pengusungnya.
Untuk maju sebagai capres pada Pilpres 2019, sudah tidak mungkin lagi bagi Gatot Nurmantyo untuk berkesempatan mendirikan partai politik. Dan, lantaran tidak ada aturan yang mengakomodasi capres independen, satu-satunya jalan bagi mantan Panglima TNI yang dicopot dari jabatannya pada Desember 2017 ini adalah dengan diusung oleh gabungan parpol peserta Pemilu 2014.
Pertanyaannya, gabungan partai mana yang paling mungkin mengusung Gatot Nurmantyo sebagai calon RI 1?
Peta politik tanah air saat ini dikuasai tiga pemain politik besar: kutub Megawati, kutub SBY, dan kutub Prabowo. Ditambah lagi dengan berlakunya aturan presidential threshold 20 % (kursi) atau 25 % (suara). Maka, magnet ketiga kutub ini pun menjadi semakin kuat dalam menarik parpol-parpol lainnya untuk bergabung.
Dalam Pilpres 2019 nanti, kutub Megawati kemungkinan besar akan kembali menjagokan Jokowi sebagai capres. Dengan demikian kemungkinan Gatot Nurmantyo untuk menjadi calon RI 1 dari kutub ini sangat kecil.
Sementara, untuk menjadi cawapres, Gatot harus bersaing dengan sejumlah tokoh lainnya, terutama seniornya, Jenderal (Purn) Moedoko yang saat ini sudah masuk ring istana sebagai Kepala Staf Kepresidenan..
Melihat rekam pemberitaan, keberadaan Moeldoko di Istana merupakan pintu penghalang bagi Gatot Nurmantyo. Dalam polemik impor 5.000 pucuk senjata oleh institusi non-militer, misalnya, Moeldoko mengeluarkan pernyataan kerasnya yang dianggap ditujukan kepada Gatot. Belum lagi, Gatot disebut-sebut sebagai rival Moeldoko dalam persaingan menuju Angkatan Darat 1.
Semakin merapatnya Moeldoko dengan Jokowi membuat peluang tokoh-tokoh lainnya sebagai cawapres semakin menipis. Apalagi, Moeldoko sempat digadang-gadang untuk mendampingi Jokowi saat Pilpres 2014 Ketika itu Agum Gumelar yang saat ini menjabat Wantimpres memberikan dukungannya kepada Moledoko.
Peluang Gatot Nurmantyo untuk mendamping Jokowi bisa dikatakan sudah musnah setelah ia dicopot dari jabatannya orang nomor 1 di kemiliteran RI beberapa bulan sebelum memasuki masa pensun. Pencopotan ini menujukkan adanya resistensi pihak Istana atas sikap yang diambil Gatot.
Kalau melihat tiga pilpres sebelumnya, di mana semua mantan tentara yang maju pasti bergandengan dengan sipil, maka kecil kemungkinan rabowo yang mantan militer menggandeng Gatot.
Dengan demikian, peluang Gatot Nurmantyo untuk didukung Gerindra bahkan hilang sama sekali jika Prabowo maju sebagai capres. Kalau pun nekat militer-militer, posisi yang ditawarkan kepada Gatot hanya cawapres.
Berbeda dengan kutub Megawati dan kutub Prabowo, kutub SBY tidak memiliki capres potensial yang berasal dari internal partainya. Situasi yang dihadapi SBY ini mirip dengan yang dialaminya pada 2014.
Popularitas AHY memang terus meroket seiring dengan roadshow yang dijalaninya ke sejumlah kota. Elektabilitas mantan cagub DKI 2017-2023 ini pun menanjak. Masalahnya, AHY memiliki sejumlah titik lemah yang membuatnya tidak mungkin sanggup melawan Jokowi dan Prabowo.
Paling banter, AHY akan diturunkan sebagai cawapres. Kalau rencana SBY demikian, maka peluang untuk Gatot Nurmatyo pun tertutup. Sekali lagi dengan mengacu pada pengalaman tiga pemilu sebelumnya.
Selain itu, SBY tidak mungkin lagi menggelar ajang pencarian capres lewat mekanisme konvensi seperti pada tahun 2014 pun sangat tidak mungkin. Masalah utamanya adalah keterbatasan waktu di mana pendaftaran capres-cawapres sudah ditutup pada Agustus 2018.
Jadi, Gatot Nurmantyo tidak mungkin melamar sebagai peserta konvensi sebagaimana Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, dan lainnya.
Dan, peluang Gatot untuk dipinang Demokrat pun baru tercipta jika SBY tidak menurunkan AHY. Namun demikian, SBY pastinya berpikir seribu kali untuk menurunkan AHY meskipun hanya sebagai calon RI 2. Sebab, kekalahan AHY dalam Pilpres 2019 bakal membuahkan noda yang sulit terhapus.
Tetapi, dari segala macam kemungkinan, sebenarnya peluang Gatot Nurmantyo dapat maju dalam pagelaran Pilpres 2019 belumlah sepenuhnya tertutup.
Peluang Gatot Nurmantyo yang mulai mempersiapkan masa pensiunnya ini muncul jika dan hanya jika Prabowo melakukan manuver tajam.
Dalam manuver tajamnya itu, Prabowo memilih untuk menempatkan dirinya bukan sebagai capres, tetapi sebagai king maker. Artinya, SBY memberikan kesempatan pada Gatot Nurmantyo untuk menggantikan posisinya sebagai calon presiden.
Manuver Prabowo ini akan menjadi ancaman besar bagi kutub Megawati dan kutub SBY mengingat kutub Prabowo memiliki dua kekuatan yang memiliki tingkat keterpilihan yang tinggi.
Bisa dibilang, bergabungnya Gatot Nurmantyo dengan kutub Prabowo ini mirip dengan bergabungnya Deddy Mizwar dengan Dedi Mulyadi dalam Pilgub Jabar 2018.
Memang sampai detik ini indkasi manuver Prabowo itu belum nampak. Namun jika sedikit saja Prabowo mengeluarkan sinyal akan bermanuver, pastinya kutub Megawati dan SBY akan bereaksi cepat.
Kalau Gatot Nurmantyo sudah tidak mungkin lagi dirangkul ke dalam kutub Megawati untuk diduetkan bersama Jokowi, maka kemungkinan besar Gatot akan digaet SBY.
Sayangnya, suara dan kursi yang dimiliki Partai Demokrat tidak memenuhi persyaratan presidential threshold. SBY membutuhkan setidaknya dua parpol lainnya sebagai pendukung (Dengan asumsi Golkar tetap berada di belakang Jokowi).
Di situlah akan terjadi komunikasi antara Cikeas dengan parpol-parpol yang berkoalisi dengan poros Teuku Umar. Dari enam parpol yang berbaris bersama PDIP, PAN yang paling bisa dipastikan akan bergabung dengan Demokrat. Tetapi, PAN saja tidak cukup. SBY membutuhkan tambahan setidaknya satu parpol lagi.
Namun demikian, ada satu faktor yang tidak bisa dilepaskan terkait pengkutuban ini. Jika diperhatkan, jenderal-jenderal alumni konflik 1998 bergaung ke dalam dua kutub. Jenderal pro-Wiranto bergabung ke dalam kutub Megawati. Sementara jenderal pro-Prabowo berkumpul bersama Prabowo. Dan, SBY termasuk jenderal pro-Wiranto.
Jenderal pro-Wiranto pastinya tidak ingin Prabowo menjadi RI 1. Karenanya, tidak mengherankan jika sejak awal 2013, kader-kader muda Demokrat sudah menggalang kekuatan untuk mengganjal pencapresan Prabowo dalam Pilpres 2014.
Dari latar beakang tersebut dapat ditarik kesimpulan jika SBY akan diberi pasokan parpol yang dibutuhkannya. Dengan demikian, Gatot Nurmantyo dapat maju sebagai capres yang diajukan oleh Demokrat dan parpol-parpol lainnya.
Majunya Gatot Nurmantyo sebagai pesaing bagi Prabowo pastinya sangat tidak diharapkan oleh poros Hambalang. Sebab, Gatot dipastikan akan menggerus tingkat keterpilihan Prabowo. Akar rumput PKS, misalnya, lebih cenderung mendukung Gatot ketimbang Prabowo.
Pertanyaannya, apakah Gatot Nurmantyo hanya pasif menunggu pinangan? Pastinya tidak. Kalau saja mampu menggaet 2 parpol, maka nilai tawar Gatot dengan sendirinya akan meningkat. Namun untuk bisa mengaet sedikitnya 2 parpol, Gatot harus memiliki tingkat elektabilitas yang meyakinkan.
Masalahnya, tanpa adanya strategi yang benar-benar maknyus Gatot tidak memiliki cukup waktu untuk meningkatkan elektabilitasnya sampai pertengahan Agustus 2018. (GS)
Komentar