Jakarta – PublikasiNews.Com | Sebanyak kurang lebih 2.000 petani penggarap lahan Hak Guna Usaha (HGU) dengan didampingi kuasa hukumnya, H.Muhammad Sirot, S.H, S.I.P, mengadukan nasib mereka ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia di Jalan Latuharhary Nomor 4b, Menteng Jakarta Pusat pada, Senin (31/08/2020) siang
Seperti diketahui, kejadian tersebut dialami oleh para petani penggarap di tiga desa, yakni Desa Batulawang Kecamatan Cipanas, Desa Sukanagalih Kecamatan Pacet, dan Desa Cibadak Kecamatan Sukaresmi, yang ketiga desa tersebut terletak masuk wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Para preman yang diduga orang suruhan perusahaan dan oknum aparat kepolisian yang melakukan intimidasi tersebut menurut keterangan para petani, adalah diduga atas perintah PT. Maskapai Perkebunan Moelia (MPM). Selain itu, intimidasi tak hanya sekali namun terus berulang hingga para penggarap benar-benar meninggalkan lahan dan rumahnya karena ketakutan.
Maka atas hal tersebut, para petani melalui perwakilannya pada hari Senin 31 Agustus 2020 mendatangi Kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhary, Menteng Jakarta Pusat guna meminta perlindungan hukum kepada negara. Mereka diterima Staf Penerima Pengaduan Komnas HAM, Nur Hidayah.
“Kami para petani memohon perlindungan hukum dan keadilan kepada Komnas HAM atas tindakan semena-mena PT MPM terhadap kami para petani yang tidak mempunyai kekuatan dan daya upaya. PT MPM telah memanfaatkan institusi kepolisian guna menakut-nakuti para petani dengan dalil petani menyerobot lahan. Besar harapan kami Komnas HAM bisa menolong masyarakat yang tak berdaya ini,” ujar salah seorang petani.
Sebagai bahan pertimbangan laporan pengaduan ke Komnas HAM, para petani juga membawa berkas yang menerangkan luas lahan secara keseluruhan sebesar 1.020 hektar berdasarkan data yang dibuat oleh Kantor Wilayah Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kanwil ATR/BPN) Jawa Barat. Sedangkan lahan yang dikuasai melalui HGU oleh pihak PT MPM diduga hanya seluas 60 hektar, dan selebihnya dikuasai oleh para petani atau masyarakat sekitar dengan jumlah 2.000 orang petani penggarap berdasarkan mapping yang dibuat oleh ATR/BPN Cianjur atas perintah ATR/BPN Pusat.
PT Maskapai Perkebunan Moelia (MPM) sebagai pemilik HGU tanah/lahan tersebut telah menelantarkan dan tidak menggarap selama kurang lebih 15 tahun sebagaimana izin peruntukan yang diberikan oleh pihak BPN, yaitu sebagai perkebunan teh, sehingga lahan tersebut digarap oleh masyarakat sekitar.
Sebagaimana keterangan Pengacara para petani, H.Muhammad Sirot, S.H, S.I.P, dengan telah ditelantarkannya dan tidak digarapnya lahan HGU Nomor 12 sampai dengan 26 milik PT Maskapai Perkebunan Moelia, maka pihak Kanwil ATR/BPN Jawa Barat telah memberikan tiga kali Surat Peringatan kepada PT MPM. “Namun peringatan tersebut tidak diindahkan pihak perusahaan,” ungkap Muhammad Sirot.
Dengan telah diberikannya tiga kali Surat Peringatan kepada PT. MPM sebagai pemegang/pemilik HGU Nomor 12 sampai dengan 26 yang terletak di Desa Batulawang Kecamatan Cipanas, Desa Sukanagalih Kecamatan Pacet, Desa Cibadak Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Cianjur maka oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Cianjur dan Kanwil ATR/BPN Jawa Barat telah diusulkan kepada Menteri ATR/BPN RI sebagai tanah terlantar.
“Tanah HGU PT Maskapai Perkebunan Moelia tersebut pada tanggal 5 Desember 2018 oleh kanwil pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat sudah dinyatakan dalam keadaan status quo sejak tanggal pengusulan yaitu 10 April 2012,” terang M. Sirot.
Hal lain terungkap, bahwa secara faktual di lapangan, lanjut Sirot, memang sudah tidak ada lagi karyawan atau petani yang bekerja sebagai pemetik daun teh milik PT. MPM. “Hal ini disebabkan karena kondisi perusahaan yang sudah bangkrut dan tidak bisa membayar gaji karyawannya sehingga perusahaan tersebut dijual secara diam-diam kepada pihak ketiga (PT. Alam Raya Hijau dan PT Fortune Sky Enterprise Corp.,) yang saat ini membiayai semua kegiatan di PT. MPM,” ungkap M. Sirot.
Muhammad Sirot selaku tim kuasa hukum/pendamping para petani juga mengungkapkan, permasalahan para petani dengan PT MPM telah dimediasi oleh kementerian ATR/BPN dan diputuskan apabila PT. MPM akan memperpanjang HGU-nya maka harus memberikan 40% lahan HGU-nya kepada para petani. Akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh PT MPM.
“Akan tetapi yang dilakukan oleh MPM mengambil alih lahan milik para petani dengan menggunakan preman dan di backup pihak oknum aparat kepolisian untuk mengambil kembali lahan HGU yang telah dikuasai dan digarap oleh para petani tersebut dengan cara paksa dan intimidasi,” papar Sirot lagi.
Bahkan ada 2 (dua) orang petani yang ditodongkan kepala dan perutnya dengan pistol oleh seorang Adm. PT MPM berinisial RM. Hal sama juga terjadi pada tanggal 26 Agustus 2020, seorang oknum memakai baju preman marah-marah di lokasi sambil mencabut pistol dengan mengarahkan atau menodongkan senjatanya kepada para petani.
Pada saat kejadiaan itu, para petani penggarap yang dibantu oleh para simpatisan menangkap oknum yang mengeluarkan pistol tersebut, dan setelah diinterogasi oleh para petani ternyata orang tersebut adalah seorang anggota polisi berpangkat Briptu. Setelah diketahui orang tersebut adalah polisi maka oleh para petani dilepaskan.
Namun setelah kejadian tersebut, sekelompok orang dan sepasukan oknum polisi dengan senjata lengkap mengusir para petani dengan cara paksa, dan rumah tinggal para petani penggarap dirusak, bahkan ada yang dibakar.
“Selain itu, jalan akses ditutup dengan cara di tembok dan diberi kawat berduri, serta saluran air yang mengarah ke rumah-rumah para petani penggarap diputus. Jadi praktis para petani penggarap tidak bisa kembali ke rumahnya,” ujar Sirot.
Saat ini, para petani penggarap tidak bisa pulang ke rumah karena mendapat intimidasi dan lahan dijaga oleh sejumlah orang beserta aparat kepolisian dengan jumlah cukup banyak, sehingga para petani tidak bisa memanen hasil kebunnya dan hidup terlunta-lunta tanpa tempat tinggal. Bahkan anaknya tidak bisa belajar.
“Para preman dengan leluasa membawa senjata tajam bahkan senjata api di depan aparat kepolisian tanpa ada rasa takut sedikitpun hal tersebut karena ada pembiaran oleh pihak kepolisian,” tutur Sirot mengkritisi sikap aparat kepolisian seperti tidak netral yang seharusnya menjadi penengah.
Kuat dugaan, intimidasi PT MPM kepada para petani karena sertifikat HGU akan berakhir beberapa bulan lagi, dan ada yang 1 (satu) tahun lagi, sehingga mereka memaksa untuk mengosongkan lahan. PT MPM juga telah menguasai lahan yang dimohon untuk perpanjangan, tanpa memberikan ganti rugi lahan dan tanaman kepada para penggarap.
Nur Hidayah staf Penerima Pengaduan Komnas HAM akan membawa aduan para petani ke komisioner guna dilakukan pengkajian dan akan direspon dalam waktu paling lambat 2 Minggu kerja.[]red
Komentar