Publikasinews.com – Dunia kini tengah menuju transisi energi dan mengurangi penggunaan energi fosil, salah satunya batu bara. Adanya tren transisi energi ini bahkan diperkirakan bisa berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor pertambangan batu bara.
Dalam laporan terbaru Global Energy Monitor, tercatat ada sebanyak 2,7 juta pekerja langsung ditambang batu bara yang beroperasi di seluruh dunia. Nah, pada tahun 2035 industri batu bara akan kehilangan hampir setengah juta pekerjaan itu, di mana dalam perkiraannya rata-rata 100 pekerja per hari di-PHK.
Perkiraan ini dikhawatirkan juga bisa berdampak pada pekerja di pertambangan batu bara Indonesia. Terlebih, Indonesia merupakan salah satu produsen batu bara terbesar di dunia.
Industri batu bara bahkan telah menyerap tenaga kerja di Indonesia hingga 150 ribu per 2019 lalu. Hal tersebut tertuang dalam data Booklet Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020.
“Industri batu bara menyerap tenaga kerja hingga 150.000 pada tahun 2019. Komposisi tenaga kerja asing sebanyak 0,1%,” tulis Booklet Batu Bara Kementerian ESDM 2020 tersebut.
Bila Indonesia benar-benar meninggalkan industri batu bara ini, maka artinya 150.000 pekerja pertambangan batu bara di dalam negeri bisa terkena imbasnya.
Namun demikian, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menilai transisi energi ini bukan lah alasan terjadinya PHK di industri pertambangan batu bara dalam negeri.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan, salah satu hal yang mengancam para pekerja sektor pertambangan batu bara adalah jika harga batu bara terus mengalami penurunan.
Dia menyebut, terdapat ratusan ribu pekerja di sektor batu bara bisa terdampak jika harga batu bara terus mengalami penurunan. Pasalnya, ini bisa mengakibatkan harga jual lebih rendah dari biaya produksi, sehingga pada akhirnya bisa membuat perusahaan batu bara merugi.
“Mungkin kalau dalam satu ekosistem ya mungkin bisa hampir 700 atau 800 ribu kali ya kan. Kalau dihitung semua kan ada kontraktor, ada pengusaha transportasinya ya,” jelas Hendra.
Dia mengatakan, potensi PHK juga semakin diwanti-wanti, khususnya oleh perusahaan batu bara yang memiliki skala kecil. Hendra meyebutkan bahwa jika kondisi harga jual batu bara terus menurun namun beban yang harus dibayarkan untuk royalti dan ‘setoran’ untuk negara terus meningkat bisa memberatkan perusahaan.
“Nah itu sih kita khawatirnya, karena kalau harga terus turun, ya kita sebagai beberapa perusahaan, terutama yang skala kecil, akan kesulitan. Lagi juga beban tarif royalti, kewajiban-kewajiban ke negara juga terus meningkat,” tambahnya.
Apalagi, dia menyoroti harga batu bara yang belakangan ini terus terkoreksi, ditambah dengan setoran ke negara yang terus meningkat, maka ancaman PHK pekerja batu bara bisa saja terjadi.
“Jika skenario harga rendah banget dan itu bisa saja terjadi. Itu yang kita khawatirkan. Apalagi kan tren harga juga agak turun terus nih, meskipun masih agak bagus, gitu kan. Jika harga turun terus, gitu, dibanding maksudnya levelnya waktu (masa pandemi) Covid, itu kita akan kesulitan,” tandasnya.
Selain itu, Hendra juga menyebutkan potensi PHK yang juga mungkin saja terjadi karena keterbatasan izin usaha pertambangan batu bara yang terhitung tidak lama. “Dan juga perusahaan-perusahaan yang saat ini juga mempunyai keterbatasan izin, jangka waktu izin, gitu. Nah itu pendapat kami,” bebernya.
Perlu diketahui, batu bara merupakan komoditas andalan RI saat ini. Bahkan, pada 2020 Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Tak ayal bila industri ini menyerap banyak tenaga kerja (red)
Komentar