oleh

Pengelola Nama Domain Internet Indonesia Nilai Bisnis Pusat Data Di Indonesia sebesar US$ 20 miliar

Jakarta, Publikasinews.com – Pelaku usaha pusat data (data center) serta industri turunannya (cloud computing – hosting), meminta pemerintah tidak gegabah dengan mengorbankan kewajiban lokalisasi pusat data demi fasilitas GSP dari AS.

CTO Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) Muhammad Salahuddin mengungkapkan, nilai bisnis pusat data di Tanah Air sebesar US$ 20 miliar. Adapun nilai ekonomi yang dimanfaatkan RI dari skema GSP yang diberikan AS hanya mencapai US$ 2 miliar. 

Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, produk Indonesia yang memanfaatkan skema GSP di 2017 bernilai US$ 1,9 miliar. Angka ini masih jauh di bawah negara-negara penerima GSP lainnya seperti India sebesar US$ 5,6 miliar, Thailand US$ 4,2 miliar, dan Brasil US$ 2,5 miliar.

“Kalau dibandingkan dengan bisnis data center di Indonesia yang akan terkena dampak dari negosiasi GSP itu, nilainya 1 banding 10. Dan ini belum termasuk bisnis-bisnis lain yang memanfaatkan data center, seperti e-commerce,” ujar Salahuddin di Gedung Ombudsman RI (ORI), Jumat (18/1/2019).

Bisnis e-commerce di Tanah Air saja, lanjutnya, saat ini nilainya mencapai Rp 300 triliun. Lebih dari itu, terdapat banyak sekali layanan publik yang sifatnya strategis menggantungkan hidup pada pusat data. Layanan-layanan ini tidak bisa melulu dihitung berdasarkan nilai ekonomi saja.

“Jadi, dihitung dari sisi uang saja sudah tidak makes sense kalau harus di-trade off dengan itu,” imbuhnya.

Salahuddin menjelaskan, salah satu anak usaha perusahaan teknologi raksasa asal AS, Amazon Web Service (AWS) tidak pernah mempermasalahkan kewajiban membangun pusat data di Indonesia. Hingga saat ini, AWS dikabarkan masih berminat masuk ke pasar Indonesia dengan nilai investasi mencapai US$ 14 miliar.

“AWS masih menunjukkan minat dan sebenarnya mereka nggak pernah menyinggung soal ini. Dan yang sudah masuk ke Indonesia pun tidak mempersoalkan itu. Asing yang sudah masuk ke sini pun cukup banyak, misalnya Microsoft Azur yang hybrid dengan Telkom dan NTT asal Jepang,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia memaparkan bahwa hampir semua pemain telekomunikasi besar di Tanah Air seperti Indosat dan Telkom memiliki partner asing strategis yang berinvestasi pusat data, khususnya di sektor finansial dan perbankan. 

“Dan mereka selama enam tahun ini comply dengan aturan itu. Makanya upaya revisi ini pun mendapat resistensi dari Bank Indonesia, karena dengan lokalisasi pusat data mereka sudah bisa enforce kebijakan mereka seperti Gerbang Pembayaran Nasional,” paparnya.

Selain AWS, Salahuddin menyebutkan raksasa teknologi asal AS lainnya, Google juga tetap berkomitmen masuk ke pasar Indonesia tahun ini.

“Mereka bersedia bangun pusat data serta tunduk dengan aturan yang ada. Google tidak menyebutkan nilai investasinya, tapi biasanya akan bertahap sesuai dengan pertumbuhan pasar,” pungkasnya. Red

Komentar

News Feed